“Kata-kata luas seperti muara”.
Wing
Kardjo—
Pada tahun 2016, saya pernah menghadiri sebuah
pertunjukan pembacaan puisi. Di sebuah panggung yang sederhana, seseorang
berdiri tegap, Mohammad Dananjaya namanya. Memandang dengan lekat secarik
kertas yang dibawanya, di sepanjang penampilan yang kurang lebih lima menit
itu, ia hanya mengeluarkan satu patah kata “Tuhan”. Dan kemudian memperlihatkan
secarik kertas yang dibawanya itu, tanpa kata, tanpa goresan apapun, dan hanya
sekedar kertas biasa berwarna putih.
Melihat itu, saya, dan hampir semua penonton yang hadir
hanya terdiam. Mungkin masing-masing dari semuanya mencoba menafsirkan apa yang
dimaksudkan Dananjaya.
Dalam sebuah pertemuan, saya pernah mendengarkan ceramah
Bambang Qomaruzzaman Anees, ia mengatakan bahwa “Puisi adalah estetika
berbahasa, tak penting maknanya apa, asalkan kata-katanya indah maka itu
disebut sebagai puisi”.
Di satu sisi, saya sepakat dengan arti itu. Bahwa puisi
bisa membuat kita terhanyut dengan keindahan olah kata, walaupun dibalik itu
kita sering mengerutkan dahi jika mengartikan maksudnya. Tapi di sisi lain,
saya kira puisi tidak selalu tampil dengan sebuah keindahan. Terkadang puisi
tampil dengan tampilan yang kasar, jorok, dan mungkin kotor. Maka jika melihat
sisi lain ini, sedikitpun rasanya bisa di katakana indah. Walalupun oleh
sebagian sastrawan diterangkan bahwa kekasaran, kejorokan, dan mungkin
kekotoran itu adalah bagian dari estetikanya.
Untuk menjembatani itu, Sapardi Djoko Damono kemudian
memberi arti pada puisi. Menurutnya, “Puisi, dikatakan puisi, ketika penulisnya
menganggap bahwa tulisan yang dibuatnya itu adalah puisi”.
Puisi dalam arti yang dipandang Sapardi ini, tentunya
lebih bisa menyentuh dua sisi, dan bahkan mungkin kemungkinan sisi lain. Puisi
tidak harus selalu indah, tidak harus selalu membuat pembaca mengerutkan dahi.
Karena pengertian ini pula, sajak “Doa terakhir
seorang musafir” gubahan Jeihan, yang isinya hanya satu kata “Aamiin”.
Itu bisa dikatakan sebagai puisi. Padahal jika kita jujur-jujuran, dalam kata “Aamiin”,
itu tentunya tidak memunculkan sisi keindahan. Tapi karena Jeihan menganggap
itu adalah puisi, maka kita pun menganggap bahwa itu adalah puisi.
Sajak yang dibacakan Dananjaya, dalam hal ini memiliki
kesamaan dengan sakajnya Jeihan. Keduanya menganggap bahwa itu adalah sajak.
Sajak, yang merupakan teks. Pada akhirnya seperti
teks-teks lain, selalu tidak bisa dipisahkan dari interpretasi. Bahkan Goenawan
Muhammad dalam Capingnya pernah mengutip pembicaraan temannya “al-wajh
al-akhtar li al-nass”.
Syahdan, saya yang tingkat spiritualitas dan
religiusitasnya ada di level rendah ini. Memandang bahwa Dananjaya dengan sajak
Tuhan mencoba menampilkan perenungang spiritualis filosofis tentang apa yang ia
tangkap pada kata “Tuhan”. Ada dualitas kompleks dari sajak itu.
Hermeneutika dalam arti luas, yang memandang bahwa alam
semesta adalah teks, menganggap bahwa hidup adalah menafsir. Kita selalu
dituntut untuk mencari makna dari sebuah teks (alam semesta). Termasuk pada
sajak “Tuhan” nya Dananjaya yang tanpa kata dan hanya kertas kosong. Karena seperti
halnya tidak menjawab adalah sebuah jawaban, tidak bermakna atau tidak memiliki
makna adalah makna itu sendiri. Maka tanpa kata pun adalah kata, serta
kosongpun sebenarnya adalah isi.
Selanjutnya, mungkin Dananjaya sadar bahwa Tuhan yang
begitu besar dengan segala kemahaaNya, sulit untuk digambarkan dengan kata-kata
dalam selembar kertas. Wing Karjo pernah menulis sajak tentang kata:
Kata-kata luas sekali seperti muara
Kata-kata mesra sekali
Rindu tapi penuh luka
Kita tahu bahwa muara adalah titik pertemuan antara air
sungai dan air laut. Di Muara kedua air itu bercampur, sehingga memunculkan
dualitas, apakah itu air laut? Apakah itu air sungai? Seperti hal nya abu-abu,
pada warna itu kita sulit untuk menentukan bahwa itu adalah hitam atau putih.
Dualitas itulah yang kemudian kita temukan pada sajak “Tuhan” nya Dananjaya.
Tentang Tuhan, Dananjaya ingin mengatakan bahwa, yang tak
terlihat bukan berarti tak ada, yang jauh bukan berarti tak dekat, yang kosong
bukan berarti tak berisi, serta yang tak terpahami bukan berarti tak termaknai.
Di akhir, saya ingin menyederhanakan apa yang ditangkap
oleh Dananjaya tentang Tuhan, dengan kembali mengutip sajak Wing Karjo:
Aku tahu, dan kaupun tahu
Terucapkan tapi tak terkatakan
Rizki Mohammad
bagus mang 👍🏻👍🏻
ReplyDelete