Teologi Corona



Kepanikan, kecemasan, dan ketakutan. Setidaknya kata-kata itulah yang bisa menggambarkan dan menjelaskan keadaan di tahun 2020. Bagimana tidak, virus baru yang muncul pada akhir tahun 2019 menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup manusia hampir di seluruh dunia. Virus yang lebih dikenal dengan sebutan Virus Corona/COVID 19 itu pertama kali ditemukan dan menyebar di Wuhan-Cina.

Dari fenomena itu, beberapa spekulasi bermunculan untuk menjawab prihal sebab adanya virus tersebut, ada yang mengatakan bahwa virus itu berasal dari hewan liar yang banyak dikonsumsi oleh penduduk Wuhan. Ada juga yang mengatakan bahwa virus itu berasal dari kebocoran salah satu laboratorium di Cina. Dan bahkan lebih jauhnya, ada spekulasi yang mengatakan bahwa virus corona hanyalah sebuah konspirasi yang dibuat untuk membangun kembali sebuah tatanan baru. Terlepas dari spekulasi mana yang benar, jelasnya, dampak yang ditimbulkan oleh virus corona ini begitu besar dalam mengubah laku kehidupan manusia, baik sebagai pribadi maupun kelompok.

Untuk mengatasi penyebaran virus tersebut, berbagai kebijakan dikeluarkan seperti melakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), mengembangkan fasilitas kesehatan, menerapkan aturan WFH (Work From Home), lockdown, penutupan fasilitas umum, pemberhentian kegiatan produksi, dan masih banyak lagi.

Jika permasalahan di bidang kesehatan menjadi kensicayaan dari dampak COVID-19, maka ada efek domino lain yang ditimbulkan oleh virus tersebut, yaitu permasalahan dalam bidang perekonomian, dimana nantinya akan mempengaruhi permasalahan pada bidang social dan politik.

 

Barometer Keimanan

Selain perekonomian, hal lain yang juga terdampak oleh COVID-19 adalah sektor keagamaan. Dimana laku orang beragama setelah adanya COVID-19 berubah secara drastis. Tapi pada akhirnya, COVID-19 hadir seakan-akan untuk memperlihatkan wajah asli dari karakter keimanan seseorang.

Ada orang yang menanggapi fenomena ini dengan menjadi bertambah kadar keimanannya, dan ada yang malah sebaliknya. Golongan pertama, adalah golongan yang pada mulanya memiliki iman yang kuat, sehingga laku yang teraplikasikan dari keimanannya berdampak positif. Artinya ia tetap menjadi orang baik, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungan disekitarnya. Imannya tidak menjadi lemah oleh seberapa pahit dan sakit penderitaan yang ia alami.

Sementara yang kadar keimanannya tidak kuat, maka ketika tergerus oleh realitas penderitaan yang menghampiri hidupnya, laku dirinya akan keluar sebagai pengaplikasian yang negatif. Entah itu negatif terhadap dirinya ataupun lingkungan disekitarnya. 

 

Iman dan Batas

Satu hal yang manipurba dari manusia adalah rasa ingin bahagia, walaupun bentuknya abstrak dan tidak menentu, tapi setiap manusia pasti menginginkan bahagia. Dari hal itu, maka di sisi lain manusia secara otomatis akan mencoba menolak ketidakbahagiaan yang datang menghampiri hidupnya.

COVID-19 datang dengan membawa berbagai macam bentuk ketidakbahagiaan, ketika manusia kebingungan dan putus asa terhadap keadaan yang seiring berjalannya waktu semakin mencekam, ada satu titik harapan yang bisa menjadi penawar, yaitu agama dan iman.

Tapi perlu digaris bawahi, dalam hal ini agama sebagai harapan bukan dengan konotasi ungkapan Karl Marx, yang mengatakan bahwa “Agama adalah candu”. Di sini agama bukan hanya sekedar pelarian dari keterpurukan, ketidakmampuan, dan kegalauan dalam menghadapi realitas yang terjadi. Tetapi konontasi yang ada, yaitu menjadikan agama sebagai harapan agar bisa menjadi spirit untuk mengubah laku diri, supaya tiap individu lebih bijak dalam menghadapi ketidakbahagiaan.

Hal mendasar dari beragama adalah pempercayai atau dalam hal ini mengimani, seseorang tidak bisa dikatakan beragama tanpa adanya iman. Karena setiap agama akan menuntut umatnya untuk mempercayai satu dzat yang paling tinggi, yaitu Tuhan.

Dengan beriman, maka seseorang dituntut untuk mengetahui batas. Batas antara Dia sebagai Tuhan, dan seseorang itu sebagai hamba. Jika kita tidak mengetahui batas, maka akan ada hal-hal yang berada tidak pada tempatnya. Sebagai contoh, dalam hal ini kita sebut Firaun yang tidak mengetahui batas, karena ketidaktahuannya itu. Ia menempatkan dirinya pada posisi Tuhan, padahal ia bukan Tuhan.

Arti sederhana dari batas adalah pemisah antara dua bidang, tapi lebih jauhnya batas juga bisa diartikan sebagai ketentuan yang tidak boleh dilampaui, hukum, dan aturan. Untuk menjaga tatanan agar tidak kacau, maka di dunia ini perlu adanya batas. Sebagai pemisalan sederhana, kita bayangkan dalam sebuah permainan tidak memiliki batas. Contohnya dalam sepak bola tidak ditentukan batas selesainya maka para pemain bisa kelelahan, tidak dibatasi system kemenangannya maka kedua tim tidak akan pernah tau tim mana yang menang dan kalahnya, dan kemudian batas pelanggaran, jika tidak ada pelanggaran setiap pemain boleh menghajar lawan maka apa bedanya permainan sepak bola dengan beladiri pencak silat. Maka dari itu, perlu adanya batas bahkan dalam hal kecil sekalipun.

Dengan adanya COVID-19, beberapa kegiatan terbatasi dan dibatasi, tapi selain itu sebagian orang malah kehilangan batas. Sehingga ia melabrak apa yang bukan porsi, takaran, dan haknya. Masalahnya, ketika seseorang tidak mengetahui batas. Maka ia akan terseret pada kubangan kepura-puraan. Oleh dari itu tidak aneh jika sekarang banyak yang tampil sebagai seorang yang berpura-pura menjadi pemimpin, agamawan, guru, dan yang lainnya. Dan bahkan lebih jauhnya, secara tidak sadar mungkin berpura-pura menjadi manusia dan berpura-pura menjadi seorang yang beriman itu sendiri.

 

Membaca untuk Memahami

Sejauh ini ada fakta menarik ikhwal membaca, yaitu bahwa pada mulanya setiap peradaban yang berkembang dan maju dalam catatan sejarah, selalu bertolak dari satu kegiatan, yaitu membaca. Misalkan pradaban Yunani Kuno, mereka dikenal memiliki kemegahan khazanah pemikiran, yang dimana itu semua pada mulanya diilhami oleh satu bacaan karya Homer, yaitu Iliad. Begitupun kebangkitan pesatnya pradaban barat yang megah dengan teknologi modernnya, berangkat dari satu bacaan catatan kecil karya Newton.

Membaca sendiri adalah suatu kegiatan yang mencoba menggali makna dari sebuah teks atau bacaan, artinya ketika seseorang membaca ada makna yang harus dikeluarkan oleh si pembaca dari kuburan teks yang dibacanya. Dalam hal ini, makna yang harus dikeluarkan itu adalah ide dari si penulis. Pada akhirnya, dalam hal ini membaca memiliki artian yang lebih luas lagi, yaitu memahami, kegiatan membaca adalah Bahasa lain dari kegiatan memahami.

Jika kita menarik makna membaca ke hal yang lebih esensial lagi, urgensi memahami tidak hanya sekedar memahami bacaan yang ada pada buku atau teks tertulis lainnya. Tapi lebih jauhnya adalah memahami realitas kehidupan yang ada di alam semesta ini. Karena jika membaca  diartikan memahami teks tertulis, maka dalam Ilmu Hermeneutika dijelaskan bahwa alam semesta ini adalah teks. Jadi tuntuntutan membaca pada akhirnya bukan hanya membaca buku tapi juga realitas yang ada di alam semesta.

Dengan membaca dan memahami realitas di alam semesta, maka kita akan mengetahui batas dan batasan diri kita, sehingga kita akan total dan tidak ada kepura-puraan dalam menjalani hidup. Ketika menjadi manusia yang beriman, kita akan benar-benar beriman. Bukan hanya sekedar pura-pura beriman. Karena ketika total dalam keimanan kita. Maka dampak yang teraplikasikan dari diri kita adalah dampak yang positif terhadap semua aspek kehidupan.

Rizki Mohammad


Post a Comment

Previous Post Next Post