Corona dan Stoisisme



“We suffer more in imagination than in reality”

 .:: Seneca ::.

 

Suatu malam, di puncak Gunung Pulosari; angin dan hujan bersahutan, hening dan sunyi saling menyapa, serta aroma maut mengincar tubuh yang gigil dan kelaparan.

Pada tahun 2016, tiga bocah melakukan perjalanan sejauh 15 KM, dari Menes menuju Gunung Pulosari. Menariknya, dalam perjalanan sejauh itu, mereka tidak membawa bekal makanan dan uang sepeserpun. Alhasil, walaupun mereka diketahui sampai ke Puncak Gunung Pulosari. Di tengah malam yang pekat, butiran hujan yang terus berjatuhan, dan angin dingin yang mendayu-dayu. Mereka ditemukan pingsan dengan muka yang pucat dan kehabisan tenaga.

Sepintas, pada mulanya saya menganggap apa yang mereka lakukan adalah kekonyolan belaka. Bagaimana tidak, mereka melakukan perjalanan dengan berjalan kaki sejauh 15 KM tanpa bekal makanan dan uang. Bagi saya, itu sama dengan bunuh diri. Tapi setelah saya mengetahui alasan di balik itu, barulah saya sedikit mengerti.

Konon, mereka bukan orang yang tidak punya. Artinya, dalam hal ini mereka melakukan hal yang saya anggap bunuh diri itu adalah sebuah kesengajaan. Dan alasan dari apa yang mereka lakukan sebenarnya cukup sederhana. Mereka sedang melatih diri berada dalam kesengsaraan hidup yang bahkan sampai maut mengincar nyawa mereka, latihan itu mereka peruntukan karena mereka menganggap dunia ini dipenuhi kesengsaraan dan penderitaan. Sehingga ketika di suatu waktu mereka ada pada kesengsaraan dan penderitaan itu. Mereka tidak kaget, karena sebelumnya mereka sudah mengalaminya.

Setelah mendengar alasan itu, tentang apa yang mereka sebut sebagai latihan kesengsaraan. Saya teringat pada kisah seseorang yang begitu masyhur, bahkan kemasyurannya sampai menembus langit. Khalayak mengenalnya dengan sebutan Uwais Al-Qorni. Suatu waktu, ia membeli seekor anak lembu dan ia membuat kandangnya di puncak bukit yang begitu jauh dengan rumahnya. Setiap hari ia menyusuri jalan dari rumahnya ke kendang anak lembu dan sebaliknya, dengan menggendong anak lembu yang dibelinya. Ia melakukan kegiatan yang begitu melelahkan itu selama 8 bulan, sampai musim haji tiba. Karena tingkahnya yang dianggap nyeleneh orang yang melihatnya menganggap bahwa Uwais sinting.

Tentunya khalayak juga mengetahui, bahwa pada akhirnya Uwais bukan tanpa alasan. Ia melakukan kesintingan itu semata-mata untuk melatih tubuhnya. Agar ia bisa membawa, atau lebih tepatnya membopong tubuh ibunya dari Yaman ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji.

Jika kita sederhanakan, maka poin yang bisa kita ambil, baik dari kisah tiga bocah dari Menes maupun kisah Uwais Al-Qorni merujuk kepada satu nilai, bahwa ada hal yang harus dilakukan seseorang untuk menghadapi satu kemungkinan yang tidak diinginkan, yaitu dengan melatih diri.

Berkaitan dengan itu, seorang filsof bermazhab stoisisme, Seneca namanya. Ia mengatakan:

“It is in times of security that the spirit should be preparing it self for difficult times; while fortune is bestowing favors on it is then is the time for it to be strengthened against her rebuffs.”

Kurang lebih, Seneca dengan sabdanya itu, menyarankan agar manusia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi masa sulit ketika ada pada masa mudah.

Saya kira, pada saat ini. Ketika kita, sebagai manusia, begitu terikat dengan sesuatu hal, yang mana jika tanpa hal itu, seakan-akan kita tidak utuh. Kita perlu menapaki jalan yang ditempuh oleh orang-orang penganut stoisisme, dalam hal ini termasuk tiga bocah dari Menes dan Uwais Al-Qorni. Agar kita tidak kaget, ketika kita ada pada suatu kondisi, di mana kondisi itu tidak kita harapkan.

Syahdan, tentang yang tak diharapkan itu. Kita bisa melihatnya pada apa yang dibawa oleh Corona. Di mana Corona hadir sebagai penguji dan membawa berbagai dampak yang menyudutkan manusia pada situasi yang tidak diinginkan. Manusia dipaksa hidup tidak seperti hidup seperti biasanya; pola hidup yang berubah.

Kita tidak menafikan, bahwa ada sebagian orang yang terkesan tidak terdampak oleh Corona. Memang begitu adanya, ada yang “Dengan dan tanpa Corona, mereka tetap menjadi mereka yang begitu adanya”. Kebegituan adanya itulah, yang jika kita jujur-jujuran, adalah hasil dari kebiasaan ia ada pada kondisi yang demikian.

Hal ini, tentu berbanding terbalik dengan sebagian orang yang lain. di mana kalangan ini, adalah yang merasakan dampak nyata dari apa yang dihasilkan Corona. Perekonomian yang tidak stabil, pergaulan yang dibatasi, dan singkatnya pola hidup yang berbeda. Adalah gambaran dari apa yang dibawa oleh Corona, yang membawa manusia pada keguncangan psikologis; kecemasan, ketakutan, dan kegalauan.

Jika kita hubungkan dengan kisah di atas, maka dampak Corona dan keguncangan psikologis itu. Memiliki kemungkinan, dikarenakan tidak biasanya kita ada pada kondisi demikian. Misal, dari perekonomian yang tidak stabil, tentunya akan mengubah kita dalam mengelola, lebih tepatnya menghemat uang, dari kemenghematan kita terpaksa harus hidup dengan biasa-biasa saja. Kondisi demikian, bagi orang yang tidak bisa hidup dengan biasa saja dan begitu adanya, tentunya akan menimbulkan suatu keadaan yang terasa begitu sulit untuk dilalui.

Daripada itu, rasa-rasanya, kita perlu dalam satu waktu menyempatkan diri untuk sesekali melatih diri. Dengan membuat suatu kondisi pelik, sakit, dan payah dalam hidup kita. Setidaknya ada dua hal yang bisa diberikan oleh latihan yang demikian kepada kita. Pertama kita akan siap menghadapi hidup yang sulit ini. Di mana, bisa jadi kesulitan yang datang pada kita, tidak sesulit dan melebihi kesakitan yang kita lalui dalam latihan yang kita buat. Dan bisa jadi, jikapun kesulitan itu lebih sulit dari apa yang sudah kita alami dalam latihan, kita tidak kaget dan sudah terbiasa.

Syukur-syukur, pada akhirnya. Ketika kita sudah berlatih, dan ternyata kesulitan itu tidak hadir. Kita akan merasa hidup lebih lega. Seperti kita, turun dari sebuah gunung, setelah sebelumnya kita mendaki gunung itu.

 

Coffee Sufi

Rizki Mohammad


Post a Comment

Previous Post Next Post