Gambar 1. Bertengkar-Bambang Q. Anees (Sumber: Dokumen Pribadi) |
Serambi Falsafah - Kawan, pernahkah kau bertengkar dengan pasanganmu? Selama
lockdown ini, apalagi di tengah lapar dan dahaga, pernahkah kau merasa kesal
pada pasanganmu, juga anak-anakmu? Ayolah... Mengakulah!
Sangat wajar jika kau dan aku bertengkar. Kau pasti sudah
tahu alasannya... ya karena kesal. Saat kau sedang memikirkan masa depan,
setelah menemukan uangmu menipis, pasanganmu meminta uang belanja atau menutup
pintu agak keras, atau anak-anakmu berlarian lalu menangis tak henti-henti. Kau
marah, kau kesal.. pasanganmu pun demikian, terjadilah pertengkaran.
Sekali lagi itu wajar. Tak apa-apa.
Tetapi marilah kita lihat yang dituliskan Rumi pada Fihi
Ma Fihi:
“Seekor gajah dibimbing menuju sumber mata air untuk
minum. Ketika gajah itu melihat bayangan dirinya di permukaan air, ia berlari
menjauh. Ketakutan. Gajah itu mengira ada gajah lain di hadapannya, di dalam
air sana. Padahal sesungguhnya ia menghindari dirinya sendiri, bayangan
wajahnya sendiri. Ketika sifat buruk seperti kezaliman, kebencian, kecemburuan,
ketamakan, keras hati, dan kesombongan ada dalam dirimu, kamu tidak merasa
sakit karenanya. Tapi ketika kamu melihatnya ada pada orang lain, maka kau akan
menghindar dan merasa sakit karenanya. Seseorang tidak akan terganggu ketika ia
terkena kudis atau bisul. Ia dengan tenang mencelupkan tangannya yang terkena
penyakit itu ke dalam sup, lalu menjilati jemarinya itu tanpa merasa jijik sama
sekali. Namun ketika kau melihat bekas bisul atau sedikit luka bernanah ada
pada tangan orang lain seraya kau menghindari makanan itu dan tak mau
mencicipinya. Mungkin muntah-muntah”
(Fihi Ma Fihi).
Jadi perilaku menyebalkan dari pasanganmu itu sebenarnya
milikmu juga. Mereka hanya memantulkannya saja. Saat kau merasa kesal pada anak
dan pasanganmu, sebenarnya kau sedang merasa kesal pada dirimu sendiri. Karena
begitulah memang hukum kehidupan, Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wasallam
“Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin yang lain”.
Agar kemarahanmu reda, mari simak kisah lain dari Rumi.
Suatu hari, Abu Jahal melihat Rasulullah SAW, kemudian
berkata, “Melihatmu Muhammad, meyakinkanku betapa buruknya keturunan Bani
Hasyim.” Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wasallam pun menjawab, “Sesungguhnya
perkataanmu telah melewati batas,... tapi apa yang kamu katakan itu benar.” Tak
lama berselang datanglah Abu Bakar yang saat melihat Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wasallam langsung berseru, “Engkau adalah matahari, sinarmu kuat
menyebar ke penjuru bumi.” Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wasallam pun
menjawab, “Engkau benar Wahai...Abu Bakar”.
Baca Juga: Tuhan
Para sahabat yang sedari tadi menyaksikan kedatangan Abu
Jahal dan Abu Bakar keheranan melihat dua pernyataan dengan jawaban yang sama.
Rasulullah menjelaskan, “Aku adalah sebuah cermin. Siapa yang melihatku,
sebenarnya sedang melihat dirinya sendiri”.
O temanku, kau tentu bukan Rasulullah saw yang menjadi
cermin bening. Kau dan aku adalah gajah yang merasa kesal dan marah saat
melihat wajah sendiri pada perilaku orang lain. Agar kau meyakini hukum
kehidupan ini, ada kisah lain dari Nabi Isa alayhissalam. Suatu ketika Nabi Isa
alayhissalam dihina dan dicerca saat melewati sekelompok orang. Nabi Isa
alayhissalam menjawab olok-olokan itu dengan penuh sopan santun. Para muridnya
tentu saja protes, “Kenapa tuan membalas hinaan dengan kebaikan?” Nabi Isa
alayhissalam menjawab, “Orang hanya mengeluarkan apa yang menjadi isinya”.
Sekarang lihatlah proses pertengkaran yang pernah
terjadi. Kau marah, karena di dalam dirimu melulu kemarahan. Saat pasanganmu
menjawab, kau kesal –itu artinya dirimu berisi melulu kekesalan. Kau dan aku
adalah cermin, sikap orang lain di sekitar kita hanya pantulan dari apa yang
menjadi isi diri kita.
Gambar 2. Bertengkar-Bambang Q. Anees (Sumber: Dokumen Pribadi) |
Teman, kau mungkin bertanya Kenapa Nabi Shallallahu
‘alayhi wasallam telah bersabda: “seorang kafir adalah cermin bagi orang
mukmin?” Kau tahu jawabannya? Karena orang kafir bukan cerminan dari siapapun,
ia hanya melihat dirinya di dalam cermin. Khatamallahu ‘ala qulubihim... Allah
telah mengunci mata hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup
(QS Al-Baqarah:7). Bagaimana mungkin mereka bisa merasakan cermin dari yang
lain, mereka tak pernah bisa mendengar dan melihat sepanjang hayatnya? Yang
selalu dilakukan orang kafir adalah merasa benar sendiri, menyombongkan
kehebatannya, dan mengolok-olok setiap kebenaran.
Baca Juga: Rekomendasi Buku Filsafat untuk Pemula
Diam-diam aku kok menemukan kekafiran dalam sikapku saat
bertengkar. Masya Allah.
Kau dan aku tentu belum tertutup mata hatinya. Mari
redakan kemarahan kita. Singkirkan logikamu, masuklah pada hatimu lalu temuilah
jiwa yang bening di sana. Jiwa yang dapat menerima pantulan Kasih Sayang Tuhan.
Lalu ikutilah seruan Rumi ini,
“Jadilah jiwa dimanapun kau berada!”.
Bambang Q. Anees