Gambar 8.1 |
Pernah
ada seorang Inggris yang memiliki hasrat melakukan pendakian ke puncak Gunung
Everest. Hingga di suatu waktu, seorang Inggris memiliki kesempatan mendaki
dengan sekelompok orang Cina. Mulailah ekspedisi pendakian itu, langkah demi
langkah mereka ayunkan, hingga di tengah perjalanan, sekelompok Cina berhenti
sejenak, tetapi seorang Inggris terus melaju sendirian.
Pada
jarak yang cukup jauh antara sekelompok Cina dan seorang Inggris, di tengah
kabut yang tebal. Sekelompok Cina melambaikan tangan dan berteriak,
memperingatkan dengan bahasanya, bahwa seorang Inggris menapaki jalur yang
salah, di mana jalur yang ditempuhnya mengarah kepada jurang.
Karena
sekelompok Cina menggunakan bahasanya sendiri. Ada pesan yang tidak sampai. Di
mana Seorang Inggris mengartikan lambaian tangan dari sekelompok Cina sebagai
isyarat memberikan semangat untuk terus melaju. Semakin keras peringatan dan
lambaian tangan dari kelompok Cina, semakin bersemangat pula seorang Inggris
mendaki, naasnya, seorang Inggris tidak sadar bahwa ia ada di jalur yang salah,
hingga setelah beberapa meter melangkah, di tengah kabut yang tebal, seorang
Inggris tersebut terperosok ke jurang dan mati.
Kisah
di atas, termaknai sebagai kisah tragedi, dan mungkin juga komedi. Trgedi
karena berakhir pilu, dan komedi karena ketragedian itu, berangkat dari sesuatu
yang cukup lucu. Yaitu salah tangkap, atau yang sering di dengar juga sebagai
salah sangka.
Apa
yang terjadi pada si Inggris, sekelompok Cina, pendakian, dan makna yang tak
sampai itu, rasa-rasanya menjadi diorama dalam kehidupan pada saat ini. Kita
tidak menapikan bahwa berbagai konflik yang terjadi di dunia yang sulit untuk
ditebak ini, berawal dari kurangnya pemahaman terhadap apa yang seharusnya kita
pahami.
Karena
di zaman sekarang ini antara objek dan subjek hadir dalam satu waktu dan tempat
yang sama. Maka kesalahpahaman itu, tentunya bisa terjadi pada individu dengan
individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok. Dalam
posisi ini kita terkadang tidak mampu memaknai atau mengambil makna dari
sesuatu. Kita sering terjebak pada situasi yang oleh Sapardi Djoko Damono sebut
“Bilangnya begini, maknanya begitu”.
Dan
sudah barang tentu, akar dari kesalahpahaman itu. Jika kita mencoba menggalinya
ke dasar yang paling dalam. Maka akan sampai pada penyebab bahwa
ketidaktahuanlah yang menjadi penyebab suatu makna menjadi kabur. Jika saja si
Inggris tahu akan bahasa dari sekelompok Cina yang tersimbol dari teriakan dan
lambaian tangan itu bermakna pemberitahuan bahwa ia mengambil jalan yang salah,
maka cerita yang sampai akan menjadi lain.
Gambar 8.2 |
Syahdan,
jika ditarik kearah yang lebih primordial, maka tentang kesalahpahaman itu,
bukan hanya terhadap pesan yang datang dari bumi. Tetapi lebih jauhnya, manusia
sering sekali menangkap makna yang salah terhadap pesan Tuhan yang datang dari
langit. Banyak makna yang disalah artikan oleh pemahaman (atau lebih tepatnya
mungkin; pengetahuan) manusia yang terbatas.
Karena
alasan demikianlah, konon katanya. Zeus yang bersemayam di Gunung Olimpus yang
menjabat sebagai dewa tertinggi itu, mengutus seorang utusan bernama Hermes
untuk menyampaikan pesan para dewa yang menggunakan bahasa langit, kepada
manusia yang menggunakan bahasa bumi.
Penunjukan
Hermes sebagai pembawa pesan, tidak lain dan tidak bukan, karena drajat Hermes
yang merupakan manusia setengah dewa, sehingga ia dianggap mempuni untuk
memahami bahasa Zeus sebagai dewa, untuk ia terjemahkan kedalam bahasa manusia,
sehingga manusia tidak lagi salah tangkap tentang makna dari pesan yang
disampaikan para dewa.
Dalam
menjalankan tugasnya sebagai seorang pembawa pesan, seperti kita ketahui bahwa
sang pembawa pesan tidak hanya sekedar menerjemahkan atau mengalihbahasakan
dari bahasa A ke bahasa B. tetapi seorang pembawa pesan, dituntut untuk bisa
memahami terlebih dahulu akan makna yang ada dalam pesan si pemberi pesan.
Perlu di garis bawahi bahwa dalam proses memahami ini, artinya ada pengolahan
pikiran sehingga makna dari sebuah pesan itu tercermati dengan baik. Setelah
itu, barulah kemudian proses pengalih bahaasaan dilakukan dengan prinsip dasar
“Redaksi kata boleh berbeda, tetapi makna harus tetap terjaga”.
Di
masa sekarang ini, walaupun pada akhirnya Hermes, mungkin hanya dimaknai
sebagai Mitologi Yunani, dan mungkin tidak lebih dari sekedar kisah pengantar
tidur belaka. Tetapi rasa-rasanya kita perlu sosok Hermes yang bisa menjadi
penengah kesalahpahaman dalam hidup ini, menyampaikan makna demi makna dari
pesan objek yang coba kita pahami.
Dan
jikapun sosok Hermes tidak kunjung hadir, maka mau tidak mau, kitalah yang
harus menjadi Hermes itu, mencoba memahami makna dari apa yang kita maknai
kemudian membeikan makna pada diri kita sendiri; kita menjadi subjek, dan kita
menjadi objek. Sehingga kesalahpahaman yang menjadikan dunia sulit untuk di
tebak ini bisa termaknai dengan baik.
Serambi Falsafah, 03 Februari 2022
Rizki Mohammad