Gambar 9.1 |
Ketika kita melihat gelagat zaman yang sudah sangat
semrawut ini, di mana berbagai masalah sudah sangat familiar menghiasi
sudut-sudut tempat di berbagai belahan dunia. Setiap waktu media-media masa
memberitahu kita masalah-masalah itu, entah masalah pribadi maupun komunal,
dari mulai bangun tidur sampai kita tidur lagi, bahwa pada nyatanya di dunia
ini banyak sekali masalah. Peperangan, pertikaian, kemiskinan,
kelaparan, pemerkosaan, perampokan, dan tentunya pandemi.
Mungkin terkadang ada bebebrapa orang di dunia ini secara
pribadi merasa bahwa dirinya tidak memiliki sebuah permasalahan, namun lucunya
si orang itu akan tetap memiliki masalah dengan terseret kepada permasalahan
komunal. Misalkan ada orang yang hidupnya benar-benar terbebas dari masalah, ia
hidup sehat, kaya, serba berkecukupan, dan apapun itu yang menjelaskan bahwa ia
tidak memiliki masalah. Tapi karena manusia hidup dalam komunal, maka ia mau
tidak mau akan terseret dan terjerat pada permasalahan komunal.
Ibarat sebuah peribahasa mati satu, tumbuh seribu.
Masalah selalu bertumbuh tanpa henti-hentinya, bahkan secara kasarnya masalah
itu ada ketika manusia itu terlahir kedunia, dan lebih jauhnya mungkin ketika
masih ada dalam rahim seorang ibu. Dan mungkin bisa jadi justru kitapulalah
sebenarnya masalah itu.
Daripada itu, maka wajar jika ada konotasi baru tentang
dunia ini, yaitu “Dunia adalah masalah, hidup adalah masalah”. Untuk
menggambarkan konotasi itu, seorang filsuf asal Yunani yang kata-katanya
dikutip oleh Soe Hok Gie dalam buku Catatan Seorang Demonstran pernah
berbicara bahwa “Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan, yang kedua
adalah mati muda, dan yang paling sial adalah mati tua. Maka bersyukurlah orang
yang mati muda”.
Tanda
Tanya Besar
Secara alamiah, keinginan paling mendasar
manusia adalah keinginan untuk bahagia. Sederhanaya seperti ini, manusia ingin
selalu merasakan kesenangan demi kesenangan dalam bentuk apapun, dan menolak
ketidak senangan demi ketidak senangan dalam bentuk apapun pula. Dengan segala
upayanya manusia akan berusaha sekeras-kerasnya untuk mendapatkan kesenangan
dan menghalau kemungkinan ketidak senangan yang akan menyerang dirinya.
Dalam
konteks ini, kita akan menyepakati bahwa kesenangan adalah refresentasi dari
kebahagiaan dan ketidak senangan adalah sebaliknya. Contoh sederhananya,
manusia merasakan kelapar, kehaus, dan kesakit. Ketika tiga hal itu, atau
setidaknya salah satu dari hal itu dirasakan oleh manusia bagaimanapun
alasannya manusia itu akan merasakan ketidakbahagiaan atau
ketidaksenangan/ketidaknyamanan. Maka ketika manusia ada di perasaan itu, ia
akan mencoba menghilangkan rasa ketidaknyamanan dengan suatu rasa yang bisa
membuatnya nyaman, kelaparan dengan makan, kehausan dengan minum dan
kesakitan dengan penawarnya.
Jika
kita kembali pada perkataan seorang Filsuf Yunani yang kata-katanya dikutip
oleh Soe Hok Gie. Lalu memberikan interpretasi dan membicarakan beberapa
kemungkinan, mungkin akan timbul beberapa pertanyaan mengapa? Dan kenapa?
Misalkan, mengapa nasib terbaik itu adalah tidak pernah dilahirkan?
Mengapa tidak sebaliknya seperti nasib terbaik itu adalah bisa dilahirkan dan
menikmati dunia? Atau mungkin pertanyaan kenapa filsuf itu
berpikiran seperti itu? Kenapa ia tidak berpikiran seperti ini?. Walaupun
nanti jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu berupa kemungkinan dan spekulasi
tapi itu akan sangat menarik untuk di kupas.
Jika
kita melihat pernyataan Filsuf Yunani itu, maka pernyataan itu sedikit
menjadi kontroversi pada satu titik tertentu, kita sebut titik itu
adalah titik pandangan kalangan agamawan, karena bagaimanapun agamawan menganggap
bahwa hidup dan terlahir ke dunia ini adalah berkah dari Tuhan dan itu adalah
sesuatu hal yang harus di syukuri. Tapi pada titik lain sebenarnya tidak ada
masalah dengan pernyataan itu, dan walaupun mungkin ingin tetap dipaksa bahwa
pernyataan itu harus salah karena sedikit menyimpang dari titik-titik tertentu,
maka kesalahannyapun bukan kesalahan yang begitu besar.
Kemungkinan
pertama adalah bahwa seperti yang sudah kita ketahui di awal mengenai dunia,
bahwa di dunia ini banyak sekali permasalahan, kita bayangkan dan lalu
bandingkan nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan dengan nasib
terbaik adalah dilahirkan. Bayangkan bahwa jika kita hidup
dan dilahirkan kedunia maka kita akan terseret pada berbagai permasalahan yang
ada di dunia ini, mau tidak mau kita harus memikirkan cara untuk terlepas dari
kekangan permasalahan dunia. Tetapi jika kita tidak pernah dilahirkan dan tidak
pernah hidup, pikiran kita pasti akan membayangkan sesuatu hal yang lebih
menyenangkan, kita tidak harus merasakan kesakitan yang menjadi permasalahan
ketika dilahirkan dan hidup di dunia, kita tidak perlu susah-susah bekerja
keras mencari uang untuk biaya hidup, kita tidak perlu merasakan kelaparan,
kehausan, kesakitan, dan bahasa sederhananya jika kita tidak pernah dilahirkan
dan hidup kita tidak akan merasakan ketidakbahagiaan dan kesakitan yang dialami
ketika lahir dan hidup kedunia.
Kemungkinan
pertama itulah yang mungkin menjadi landasan kenapa Filsuf Yunani itu
berpikiran seperti itu? Bahwa keindahan terbayangkan ketika ia tidak pernah
dilahirkan dan hidup. Mungkin juga? Karena ia merasakan langsung
bahwa dunia dan hidup memang adalah masalah. Bisa jadi ketika sepanjang
hidupnya ia merasakan berbagai kesakitan, ia merasakan kelaparan, melihat dan
mengalami konflik/perang serta ketidakbahagiaan dan itu menjadi masalah. Lalu
ia membayangkan kebahagiaan lain tanpa harus merasakan kehidupan, dan walaupun
mungkin di dalam hidupnya ia juga pernah merasakan kebahagiaan tapi kebahagiaan
dalam hidupnya itu tidak sebanding dengan kebahagiaan ketika ia tidak hidup.
Tapi,
walaupun pada akhirnya mungkin kita menyepakati terhadap pernyataan Filsuf
Yunani itu. Bahwa nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan,
tetap saja bahwa sebenarnya penryataan itu hanya bersipat utopis.
Nyatanya mau tidak mau kita dilahirkan dan hidup serta harus menjalani hidup
ini. Walaupun pada dasarnya berbagai permasalahan yang ada di dunia ini
bersebrangan dengan keinginan dasar manusia bahwa setiap manusia ingin bahagia.
Jadi,
jika seperti itu maka munculah pertanyaan baru bahwa ketika kita hidup,
bisa tidak kita hidup tanpa masalah?
Harapan Besar
Di tengah-tengah segala kesemrawutan dunia ini, tidak
menutup kemungkinan orang-orang yang mengharapkan sebuah kebahagiaan
menyempatkan diri untuk merenung dan membayangkan bahwa di dunia ini ada sosok
manusia super yang bisa menyelesaikan segala permasalahan yang ada, sosok yang
bisa menghalau segala ketidakbahagiaan yang akan menyerang tiap-tiap orang
untuk menciptakan sebuah kebahagiaan.
Siapakah kiranya yang bisa menjadi pahlawan super pada
zaman ini, yang sekiranya siap menanggung tanggung jawab untuk menciptakan
kebahagiaan itu? Apakah Donald Trump kah? Kim Jong Un kah? Erdogan kah? Salman
bin Abdulaziz al-Saud kah? Atau sosok lain yang sekiranya bisa menanggung
tanggung jawab itu? Maka jawaban dari pertanyaan itu sebenarnya hanya akan
merujuk pada satu jawaban, dan jawaban itu adalah seorang Yang
Tercerahkan. Hanya sosok yang tercerahkanlah yang bisa memberantas
permasalahan di dunia. Pertanyaannya siapakah yang tercerahkan ini? Dimanakah
keberadaan yang tercerahkan ini?
Ketika kita membicarakan tentang Yang
Tercerahkan, maka mau tidak mau mungkin kita akan sedikit menyinggung
seorang Ali Syariati yang pemikirannya banyak mempengaruhi orang-orang Iran
khususnya dan muslim di luar Iran umumnya. Tapi perlu ditekankan bahwa fokus
bahasan kita bukan terletak pada Ali Syariatinya, melainkan pemikirannya
tentang Yang Tercerahkan.
Sederhananya, yang tercerahkan adalah seorang yang sadar dan peka
terhadap kehidupan sosial, tentunya sadar di sini berarti memiliki empati dan simpati terhadap keadaan
dan permasalahan masyarakat. Yang tercerakan sejatinya pula adalah penerus para
nabi, ketika nabi sebagai utusan Tuhan sudah tidak ada lagi di masa sekarang
ini, maka yang tercerahkanlah yang meneruskan tongkat estafet para nabi untuk
merubah dan memperbaiki kesalahan dan kekeliruan yang terjadi di dunia ini.
Letak perbedaan antara Nabi dan yang tercerahkan adalah jika Nabi mendapatkan
wahyu dari Tuhan maka yang tercerahkan tidak mendapatkan wahyu itu, tapi letak
persamaannya adalah bahwa Nabi dan yang tercerahkan memiliki tugas yang sama
sebagai utusan Tuhan.
Dalam buku Membangun Masa Depan Islam, Ali
Syariati mengatakan bahwa “Seorang Akademisi (Intelektual), Agamawan (Ulama)
bukan berarti mereka adalah Yang Tercerahkan, tapi bisa jadi Yang Tercerahkan
itu adalah salah satu dari kalangan yang disebutkan tadi ketika kalangan itu
memiliki kesadaran akan pribadinya sebagai penerus dan pengemban tugas para
Nabi, maka kalangan (pribadi) itu menjadi akademisi yang tercerahkan, agamawan
yang tercerahkan”.
Jadi intinya adalah bahwa, yang tercerahkan itu adalah
sebuah nilai. Tidak hanya di sandarkan pada salah satu subjek saja, tapi semua
manusia bisa jadi yang tercerahkan termasuk diri kita sendiri. Tapi dengan
catatan ketika subjek (diri kita) mengemban tugas para Nabi terdahulu.
Lebih jauhnya kita tidak perlu mencari yang tercerahkan
ke suatu tempat tertentu dan mencari seorang tertentu untuk dijadikan pahlawan
di dunia ini. Karena sejatinya kitalah pahlawan itu, maka dari itu jika ingin
mencapai sebuah kebahagiaan dan memberantas setiap permasalahan di dunia ini,
jadikanlah diri kita sebagai pribadi-pribadi yang tercerahkan.
Serambi Falsafah, 05 Februari 2022
Rizki
Mohammad