Sebuah Biografi: Chairil si Urakan yang Malang

 

Gambar 9.1 Cover

“Tidak juga kau,

tak perlu sedu-sedan itu”.

                       Chairil Anwar

 

Di abad yang lampau, pernah hidup seorang yang bebas, bahkan kebebasannya itu sebebas keinginannya dalam Aku[1]. Chairil Anwar namanya, yang dikemudian hari dijuluki si “Binatang Jalang”. Tidak pasti, apa yang menjadi penyebab ia dijuluki demikian. Sebagian orang berspekulasi, nama itu hanya disematkan karena ia pernah mengaku demikian dalam Aku. “Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang”. Ada juga yang menisbatkannya karena memang, selama hidupnya, Chairil begitu urakan, bebas, dan mungkin juga begitu malang.

Jika kita menggunakan kata “Aporisme”. Nya Nietzche, maka seorang yang lahir pada 26 Juli 1922 ini adalah apa yang disebut sebagai Aporisme itu. Tanpa aturan, meloncat-loncat, tak terkendali, dan mungkin (sedikit) nakal.

Bagaimana tidak kita menafikan itu, Subagio Sastro Wadojo, seorang penyair yang hidup dengan Chairil itu pernah berkata “Chairil, memiliki satu prinsip. Yaitu, bukumu adalah bukuku, dan rumahmu adalah rumahku”. Dalam beberapa kesempatan, Chairil diceritakan mengambil buku-buku Subagio, baik untuk ia baca sendiri, maupun untuk dijual ke pasar loakan di Senen.

“Serampangan”. Ya, memang demikian. Sikap serampangannya itulah, yang kemudian menyeretnya pada kehidupan yang tidak mapan. Tapi perlu kita ketahui, bahwa ketidakmapanannya itu bukan takdir yang ia terima dari Tuhan, melainkan ia memang ingin hidup tanpa kemapanan, maka, ia memilih untuk tidak menjadi mapan. Itu juga lah yang menjadikan Chairil menarik, ketika orang-orang berkeinginan untuk menjadi mapan, ia memilih sebaliknya. Walaupun banyak kesempatan, yang jika ia mau, maka kesempatan itu akan menjadikan dirinya mapan. Salah satu kesempatan itu, datang ketika ia di tawari pekerjaan untuk bekerja dengan Bung Hatta. Tetapi kesempatan itu ia tolak.

Berbicara Chairil, artinya kita membicarakan sebuah kekompleksan. Ketika di satu sisi ia adalah apa yang dimaksudkan dari konsep Nietzche, maka di sisi lain, ia juga adalah apa yang dikonsepkan oleh Camus “Aku memberontak, maka aku ada”. Sepanjang hidupnya, Chairil banyak melakukan pemberontakan. Baik pemberontakan pemikiran, maupun pemberontakan terhadap kekuasaan. Dengan bersenjatakan kata, yang pada akhirnya menjadi sajak. Chairil begitu loyal dalam menggoyangkan pemerintahan Jepang.

Kawan, kawan. Mari kita mengayun pedang ke dunia terang”.[2] Penggalan dari sajak Siap Sedia yang Chairil buat itu, kemudian mengantarkan dirinya masuk ke jeruji besi. Sajak itu dianggap oleh pemerintah Jepang, sebagai bentuk profokasi untuk melakukan perlawanan. Chairil di penjara selama tiga bulan pada tahun 1943.

Walaupun sajak yang berjudul “Siap Sedia” yang dimuat pada Majalah Nisah itu menjadi penyebab ia di penjara, puisi itu juga lah yang mengawali kemelegendaannya sebagai penyair ternama, dan kemelegendaan itu ditambah ketika “Aku” di tahun 1945 berhasil terbit di Majalah Timur. Karena “Aku” inilah, Chairil dianggap sebagai pelopor berpuisi yang khas di angkatan 45.

Gambar 9.2 Body

Kepiawaian Chairil dalam menulis sajak, ternyata tidak ia dapatkan dengan sekonyong-konyong. Ia melatihnya bahkan dari semenjak berusia 15 tahun. Di dunia literasi yang akrab dengan buku-buku, Chairil terinspirasi dan gemar membaca dari ayahnya, Toeloes. Ketika Chairil tidak memiliki Hasrat rakus untuk bermapan diri. Ternyata kerakusannya itu ia salurkan kepada hal lain, yaitu ilmu. Ketika Chairil masih remaja, kesadaran akan pentingnya membaca sudah ia sadari. Oleh karena itu, tulisan-tulisan sastrawan terkenal dunia seperti Rainer Maria Rilke, WH. Auden, Archibald MacLleish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, Edgar du Perron. Buku-buku itu sudah habis dilahapnya, dan itupun tidak membuatnya merasa kenyang. Sehingga ia juga menghatamkan sebuah buku mentereng dari Mulo, yaitu Hogare  Burgerlijk School (HBS).

Apa yang Chairil baca, pada akhirnya menjadi modal utama dalam menjalani hidup ketika ia tidak merasakan bangku sekolah yang tinggi. Dan dengan bacaan itulah, ia menjadi lebih mencintai sastra.

Kemalangan Chairil datang dalam hidupnya ketika ia ada di akhir hayatnya, dimana dalam rumah tangganya, baik bersama Hapsah Wiriaredja maupun perkawinan stelahnya bersama Evawani Alissa tidak berjalan dengan dengan baik. Setelah itu, Chairil dengan ketidakmapanannya itu, menumpang hidup dari satu teman ke teman lainnya. Ia juga terkena penyakit TBC yang menyebabkan ia tidak produktif dan kesulitan dalam menulis.

Di usianya yang ke 27 tahun, Chairil menghembuskan nafas terakhirnya. Ia meninggal di CBZ (sekarang: Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) pada 28 April 1949. Ia meninggalkan tulisan yang berjumlah 94 tulisan, terdiri dari 70 sajak asli, 10 sajak terjemahan, 6 prosa asli, 4 prosa terjemahan, dan 4 sajak saduran.

Serambi Falsafah, 10 Februari 2020

Rizki Mohammad


[1] Sajak, Aku.

[2] Sajak, Siap Sedia

 

1 Comments

  1. Jadi berasal dari sini kata "binatang jalang yang terbuang"
    Yang sempat saya dengar di waktu berseragam putih abu.
    Seakan teringat kutipan Flamboyan senja..����

    ReplyDelete
Previous Post Next Post