Laila-Majnun

 

 Tentang cinta yang kau ketahui, itu hanyalah kulit”.

Maulana Rumi-Masnawi

 

Satu kisah menarik yang begitu melegenda datang dari Timur Tengah, “Laila-Majnun”, begitulah orang mengetahui ikhwal karya akbar Nizam Ganjavi tersebut. Laila-Majnun sebuah kisah pelik tentang cinta yang begitu parah. Konon katanya, kisah ini pulalah yang mengilhami kisah romansa dari Eropa, yaitu Romeo-Juliet karya Wiliam Shakespeare.

Roland Barthes, seorang filsuf pascastrukturalis, pernah mengatakan bahwa “Pengarang telah mati”. Sederhananya, bahwa setiap karya, ketika sudah ditulis maka akan ada pada satu kondisi di mana tulisan itu bebas diinterpretasikan oleh pembaca. Bahkan, penulispun ketika membaca tulisannya, ia bukan lagi seorang penulis, melainkan pembaca.

Walaupun dikemudian hari, Sapardi Djoko Damono, sastrawan asal Indonesia pernah membuat pernyataan untuk mengkritisi pemahaman Barthes, dengan mengatakan bahwa “Pengarang tidak mati”. Seorang pembaca tidak bisa dibiarkan bebas sebebas-bebasnya dalam menafsirkan sebuah karya. Karena dalam menafsir ada satu disiplin ilmu yang konsen dibidang itu, yaitu Hermeneutika, di mana dalamnya, diterangkan bahwa karya tidak pernah terlepas dari faktor sebuah karya bisa tercipta.

Gambar 1. Pejalan (Sumber: islamina.id)

Terlepas dari perdebatan itu, saya tidak pernah tahu secara pasti, apa makna sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh Ganjavi. Sepintas, kisah yang masyhur itu menceritakan kisah-kasih yang tak sampai. Terhalang oleh tradisi, adat, dan budaya, atau mungkin juga politik. Pada tataran ini, orang akan melihat dan menganggap bahwa itu merupakan kisah romansa biasa.

Tapi kemudian, bagi saya, atau mungkin juga bagi orang lain yang pernah membaca kisah ini. Melihat hal lain bahwa Laila-Majnun bukan hanya sekedar kisah cinta yang klise dan aus belaka antara seorang perempuan dan laki-laki. Tetapi lebih jauhnya, ketika mencoba menggunakan kaca spiritualitas, ada detail yang mungkin terlewatkan dari Laila-Majnun, di mana dalam kisahnya .terdapat relasi yang lekat antara seorang hamba dan Tuhan.

Dalam penggalan kisahnya, diceritakan keluarga Laila membuat satu perjamuan makan, semua orang diundang untuk mengikuti perjamuan itu, tak terkecuali Qais. Di tengah keriuhan yang hidmat, tiba-tiba terdengar suara piring pecah. Semua mata tertuju kepada sumber suara, dan ternyata suara gaduh itu berasal dari piring Qais yang memang sengaja dipecahkan.

Dengan raut muka keheranan, Laila bertanya kepada Qais “Mengapa engkau pecahkan piring itu?”. Qais tersenyum dan kemudian menjawabnya “Agar engkau berkata ‘Mengapa engkau pecahkan piring itu?’”.

Kemudian, saya kira, dalam situasi perenungan yang meditative. Rasa-rasanya manusia perlu untuk ditegur, atau lebih tepatnya Tuhan perlu menegur seorang hamba agar ia bisa mengingat-Nya kembali.

Entah memang sudah sifat alamiah manusia, ataupun bukan. Tetapi yang jelas sejauh apa yang saya alami, bahwa dalam hidup kita sering sekali ingat kepada Tuhan ketika kita mengalami satu penderitaan. Kondisi ini sebenarnya percis seperti apa yang dialami Laila ketika Qais melakukan hal-hal yang bisa menarik perhatian Laila. Singkatnya, Tuhan memberikan cobaan yang berat, agar hambanya berdoa dan mengeluh “Mengapa Engkau (Tuhan) memberikan cobaan yang berat?”.

Baca Juga: Sehimpun Sajak Bambang Q. Anees

Syahdan, apa yang bisa dilihat dari Laila-Majnun. Salah satunya, adalah bahwa kesakitan yang hinggap dalam hidup. Bisa jadi, atau bahkan senyatanya memang demikian ketika kita melihat sifat rahman dan rahim Tuhan. Bahwa itu bagian dari kecintaan Tuhan terhadap Hamba.

Kita bisa melihat bahwa kesakitan pada akhirnya tidak selalu harus dimaknai sebagai kejahatan. Saya tidak bisa membayangkan ketika kesakitan selalu sebagai yang demikian, maka berapa banyak anak yang terlahir ke dunia ini, hadir sebagai seorang penjahat? Padahal sakit yang dirasakan oleh seorang ibu, merupakan bentuk kasih dan sayang terhadap anaknnya.

Kemudian, tentang penderitaan yang menyenangkan dan kepahitan yang manis. Saya teringat satu kisah yang diceritakan Rumi di dalam Masnawi nya. Konon, di antara hembus angin yang bersiutan. Ada kacang polong menari-nari kegirangan setelah ia tahu bahwa manusia akan memakannya. Lalu ditanyailah “Mengapa engkau riang dan begitu senang? padahal sebelum dimakan, kamu akan mengalami kesakitan dengan disayat dan digodok terlebih dahulu”. Sambil terus menari-nari, dan meliukan tubuhnya, kacang polong itu berkata “Itu bukan kesakitan, tapi itu adalah kebahagiaan. Sakit sementara, tapi bahagia karena level dan maqomku akan meningkat drajatnya menjadi manusia”.

 

Serambi Falsafah, 29 Maret 2022

Rizki Mohammad

Post a Comment

Previous Post Next Post