Sehimpun Sajak Derek Walcott: Tangis Jauh dari Afrika

 


Pembuka

 

Aku, dengan kaki melintang seharian, mengamati

Ragam kepal awan yang berkumpul

Rupa yang kasar ini, pulauku yang rapuh.

 

Sementara, uap yang membelah horizon pertanda

Kita hilang

Hanya ditemukan

pada catatan pelancong, di balik teropong birahi;

hadir di balik bayang mata biru

Yang tahu banyak kota dan mengira kita ceria.

 

Waktu merangkak di depan pasien yang  menunggu begitu lama

lalu aku, siapa yang telah membuat pilihan

Yang tahu tentang hilangnya masa kecilku.

 

Dan hidupku, begitu muda untuk sebatang rokok  berat,

Gagang pintu yang berputar, pisau yang menentukan

Isi perut jam, tentu tak kuasa menggapai massa

hingga kubelajar menderita

Dalam irama yang cermat.

 

Aku berjalan, melewati  babak asing yang semu,

Serupa nuansa hari raya,

Meluruskan dasi dan kurapihkan rahang ini

Lalu mencatat potret kehidupan

Tentang daging yang berjalan-jalan di depan mata.

 

Sampai semua yang aku palingkan untuk merenungkan bagaimana,

Di tengah perjalanan hidup,

Oh, bagaimana aku berkunjung pada mu,

Macan tutul pemalu bermata redupku.

  1984

 

Si Penungggang Halus

 

Kuda abu-abu, kematian, tampang beruang Titus muda

Hutan gelap oleh batu bara mati hari;

Ayah dengan mimpi memotret anak

Seperti satria Durer  mengangkang Rosinate;

Kuda mengganggu melebihi kegembiraan masa muda kita,

Serdadu mengembalikan tatapan pasti sesaatnya,

Kepastian menatap ayahnya di mata,

Diwarisi,  memarang kepala kurus dengan teliti

Ke arah rimba simbolis yang  memberi isyarat

Seperti satria-satria, dikawal pemilik sabit, di mana harus berdusta.

Namun, kecakapan memuji penunggang dengan adil,

Keputusasaan memerinci abu, kuda pasi,

Gambar abadi memegangi si penjagalnya

Dalam tatapan jelas untuk/karena usia tua untuk dibaca.

 

Baca Juga: Laila-Majnun

 

Pelabuhan

 

Nelayan mengayuh pulang waktu petang

Tak peduli hening menggiring gerak mereka

Juga aku, karena telah tenggelam ,tak harus bertanya lagi

Karena senjakala yang kuat telah memberi tangang-tangan redamu.

Dan malam, menghasrat kuat masa tua,

Berkedip pada bintang yang berjaga di balik bukit yang membungkuk,

Harusnya mendengar rahasia tak bertirai di depan; waktupun tahu

Bahwa laut memang pahit serta licik , dan cinta yang mampu mengangkat dinding.

Tapi yang lain yang sekarang melihat tumbuhku,

Di laut yang lebih kejam dari kata

Cinta, mungkin melihatku berjalan dengan tenang,

Menantang laut baru seperti cerita zaman dahulu;

Menyelimuti pikir yang mampu menjamah kapal samudra

Mendengar kabar angin tentang pendayung yang tenggelam dekat ribuan bintang.

 

Tangis jauh dari Afrika

 

Angin berhembus pada kulit bulu kecoklatan

Afrika. Kikuyu, secepat capung-capung,

hinggap dalam aliran darah padang rumput,

Bangkai-bangkai tersebar di penjuru syurga,

Hanya cacing, bangkai kolonel, menangis:

“Tak haru pada mayat-mayat yang tepisah ini!”

Jumlah membenarkan serta pelajar merampas

Kebijakan koloni yang menyolok.

Apa yang dilakukan si anak berkulit putih itu memarang di kasur?

Untuk orang keji, yang bisa dihabisi laiknya Yahudi-yahudi itu?

 

Dipisahkan si pemukul, membelah deret panjang

Dalam abu putih tangis bangau ibises

Yang telah berputar sejak peradaban dimulai

Dari sungai yang terpanggang atau tanah sesak yang buas.

Kekejaman yang membabi buta oleh para jahanam dianggapnya

Sebagai hukum alam, namun orang yang tulus

Melihat ketuhanannya menghadiahi penderitaan,

Tergila-gila laiknya jahanam yang cemas ini, peperangannya

Tarian untuk mendekatkan bangkai genderang,

Kala dia masih berani karena ketakutan pribumi

Pada damai yang berkontrak kematian.

 

Menyeka lagi dengan tangan kasar

Di atas perkara kertas kotor, lagi

Membuang  rasa haru kita, sperti orang Spanyol

Gorila yang bertarung dengan superman.

Aku yang teracuni dengan darah keduanya,

kemana harus aku kembali, terbagi ke dalam barik-barik?

Aku yang terkutuk

Opsir Inggris yang mabuk, bagai memilih

Antara darah Afrika ini dan lidah Inggris yang aku kagumi?

Hianat pada keduanya, atau membalas apa yang mereka beri?

Bagaimana aku bisa menghadapi semacam pembantaian dan acuh?

Bagaimana aku kembali dari Afrika dan hidup?

 

Kota yang Dihanguskan

 

Setelah penginjil hebat itu meratakan semuanya namun langit bergereja,

Aku menulis cerita dari kota besar yang dihanguskan api;

Dalam mata bercahaya, yang dibubuhi airmata, aku

Hendak berkata, lebih daripada lilin, agama yang dipotret seperti dawai,

Seharian aku berjalan keluar di antara reruntuhan cerita,

terkejut oleh dinding –dinding yang berdiri di jalanan serupa pendusta;

Bising  teriakan  burung langit, dan semua awan bergeser

Terberai bebas lalu terhempas menjadi putih, meski api

Dari laut yang berasap, di mana Kristus  berjalan, aku bertanya, mengapa

Harus lelaki yang beairmata lilin itu, ketika dunia berkayunya rubuh?

Di kota, daun adalah kertas, tapi bukit-bukit adalah para jemaat;

Untuk seorang bocah yang berjalan seharian, sehelai daun adalah nafas yang hijau

Membangun kembali cinta yang aku rasa telah mati seperti paku,

Memberkati kematian dan dibaptis dengan api.

 

 

Penulis: Derek Alton Walcott adalah seorang penyair dan penulis drama asal Saint Lucia. Ia menerima Penghargaan Nobel Kesusastraan pada tahun 1992. Ia pernah menjabat sebagai Profesor Puisi di Universitas Essex dari 2010 hingga 2013

Post a Comment

Previous Post Next Post