Dan Anak Sama Bapak Itu
Menggerus Bumbu;
di Luar Rumah, Bulan
Menggantung di Ujung Waktu
DAN
Anak sama bapak itu
menggerus bumbu di cobek batu
Di luar rumah, bulan
menggantung di ujung waktu
Kemiri, cabe merah,
kunyit, bawang merah, bawang putih, dan biji ketumbar
Serta garam. Diulek
halus dengan jemari mungil
Dua ekor
kelalawar mengintip di sempit ventilasi
Mereka akan membuat nasi
goreng
Detik detik riwayat
sedang disemai di sembir mimpi
“Nak, nyalakan kompor
gasnya. Siapkan wajannya!”
“Ini pelajaran sabar ya
Bah?”
Silir angin mulai
merangkul kembung perut bumi
Bapaknya tak berucap.
Dituangkannya bumbu pada panas minyak.
Telor ayam dan nasi
dingin dari mangkuk dilepas dengan ikhlas
Waktu kian sesat dan
terlepas saat hujan merayap di sela atap
Suara ngilu serok yang
menggesek wajan menyayatkan telinga. Dapur kian bengkak
Lalu dingin yang
dikumandangkan hujan mengepung tata ruang
Nasi sudah matang, meski
agak gosong sebagian
Bulan hilang, awan
ngambang, bintang padam
Mereka bersila
berhadapan, makan nasi goreng di atas talam
Berbincang tentang
kecap, bawang, dan panjang masa depan
Di luar; kian kelam,
kelam, dan berbayang!
2013
Mereka Bilang, Tapi
Bagiku, Aku bilang
Yang fana adalah waktu,
Sapardi bilang
Tapi bagiku yang fana
adalah lagu
Aku mengapung ringan
meninggi padamu, Acep Zamzam bilang
Tapi kubilang, aku
tertegun diam tunduk padamu
Tak ada yang kekal di
bumi semua kembali padamu, Soni Farid bilang
Tapi bagiku yang kekal
adalah bumi
Aku ingin diusik selagi
asik, Putu Oka bilang
Tapi kubilang, aku ingin
sunyi dalam berisik
Sunyi telah mati di
muaraku, Arief Bagus bilang
Tapi bagiku bising telah
membuncah di hatiku
Aku bayangkan ada orang
kepanasan berenang dalam kaldera, Zawawi bilang
Tapi kubilang, aku
bayangkan ada orang kedinginan mandi dalam bejana
Matahari telah memar
cakrawala luka bakar, Goenawan bilang
Tapi bagiku bulan
seperti kembang, bintang tegar memandang
Aku gelisah saja
sepanjang malam, mudah terganggu suara hujan, Jokpin bilang
Tapi kubilang aku tenang
setiap saat dengan kegaduhan alam dunia
Mereka bilang, tapi
bagiku, aku bilang!
2013
Berahi
Malam lebam dibogem bohlam
Bintang mengendap di tulang awan
Genting genting mencekam
2013
Jangan Kita Bicarakan
Hujan, Sayang!
Jangan kita bicarakan
hujan, sayang!
Tak ada artinya; ia
pasti akan begitu saja, mengalir rincik atau mengalir deras.
Jadi kemalir, sungai,
atau jeladri. Sudah itu hilang.
Mari bicarakan ember
saja, yang selalu setia menampung tetesnya sampai berlumut.
Sungguh dia memang setia
menahan dingin, luka gigil, dan licin lumut.
Kadang kita sering
membenturkannya dan menyeretnya dengan kaki
pada dinding tembok
samping jemuran. Kasihan.
Sayang, mari kita rawat
ember kita itu. Jangan diseret. Kita angkat sama-sama.
Lalu simpan di dapur.
Buat menampung baju-baju kotor dan membilas.
Setelah kosong. Kita
simpan dipojok tembok. Lalu kita mendekam di sana. Dalam lingkaran dan
penyatuan.
“Kita simpan saja setiap
kenangan yang terus menggerus kota yang kita diami sekarang”
Riwayat Tukang Patung
Disayat-sayatnya patung
yang sedang dibuat itu
Sampai ia meringis;
perih mungkin juga geli.
Patungnya berkelamin
perempuan.
Tanah likat
ditambalsulamkan, pada bagian lekuk tubuh;
menjadi tulang, otot,
juga daging.
Kini, patung itu
sempurna
Bertubuh denok, berparas
cantik dan selalu tersenyum manis
Meski terlihat malu-malu
karena merasa dirinya tak berbaju
(angin sesekali iseng
meraba pada bagian-bagian daging yang janggal)
Sementara;
Si tukang patung,
tersenyum juga
Ia merasa selesai menyayat-nyayatnya
Meski dirinya selalu
ingat pada bapaknya sendiri
Ibrahim!
2012
Baca Juga: Laila-Majnun
Selembar Daun Jambu
Ada selembar daun jambu
kering
Terdampar di halaman
rumah
Dia datang begitu saja;
merasa asing, tak
dikenalnya sekeliling
Pada angin yang
menghapus
Bekas jarak, bertanyalah
Ia
“Kenapa kau lepas aku
dari cabang pagi dan didamparkan di sini?”
Angin menjawab, “ada
seikat lidi yang belum mengenalmu, ia sangat ingin sekali menyapa dan menyapumu
karena mereka telah terpisah dari daun yang menghimpitnya. Lepas oleh sebitan
pisau!”.
2011
Lewat Celah Pintu
Lewat celah pintu
Kulihat seorang Lelaki
membawa kembang
Berjalan ke barat
(suara langkah kakinya
seperti derap kaki kuda liar)
”aku akan membawamu
berdendang
Di bawah kilatan
lampu-lampu
Dan kita akan membakar
diri kita di sana”
Lewat celah malam,
Kulihat lelaki itu
membawa kembang, kembali,
Berjalan ke timur
(cuaca malam sayup-sayup
menegur bulan)
”aku akan membawamu ke
ruang kosong,
Sambil membakar dupa dan
kemenyan
Dan kita akan membakar
doa-doa di sana”
Jejalan pun, penuh
rumputan lalang yang ragu-ragu
Malam semakin gagu!
2009
Baca Juga: Carpon Asep Zuhud - Gening
Ketika Aku Mengenal Hujan
Ketika aku mengenal
hujan,
Selalu ricik dan
lesitnya yang kukenal; juga kau
Ketika kita berdua
telanjang bulat hujanan.
(Pernah kita berdua
jatuh saat hujan melesatkan kita
Dalam genangan. Kembang
yang aku bawa pecah berkeping-
Keping. )
Rambutmu lalu kau petik
dan kau jelmakan benang. Dengan jarum yang terselip di celah rambutmu; dalam
anggun kau sulam kepingan kembang itu. Menjadi
Sanggul dan menghias
rambutmu yang ikal terurai.
(Cuaca menjadi Sinau!
Lalu Kita berdua mengambungnya pada setiap kembang yang tersulam. Di
taman—samping Ranjang)
2009
Penulis
Bunyamin
Fasya,
lahir di Tasikmalaya 16 November 1978. Selain menjadi dosen di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Bandung, ia aktif di FAS (Forum Alternatif Sastra) Bandung. Puisi dan esainya pernah dimuat di beberapa
media seperti Jurnal Sajak, Jawa Pos, Pikiran Rakyat, Kompas Jabar, Tribun Jabar, Buletin Jejak,
Grandis, Wacana Publik, Majalah Suaka. Salah satu buku antologi puisinya adalah;
"Metamorfosa" (Komunitas Siraru, 2003)