Syarat
masuk Islam itu membaca dua kalimat syahadat. Sangat mudah. Cukup melafalkan
Asyhadu Anlaa Ilaaha Illalah Wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah, selesai dan
resmilah Anda menjadi seorang muslim. Sesederhana itukah?
Sebenarnya
bisa ya, bisa tidak.
Syahadatain
sangat sederhana dan tampak mudah, namun banyak orang yang tak sanggup
meraihnya. Mungkin karena mudah, maka susah untuk diraih. Syahadat artinya
penyaksian. Tak hanya mengucapkan “saya bersaksi” tetapi harus benar-benar
bersaksi. Di sini, terlihat sudah bahwa bersyahadat tidaklah mudah. Kemudian
setelah asyhadu ada kalimat La Ilaha Illa Allah, ada penolakan terhadap ilah
dan penerimaan terhadap Allah.
Untuk
“menolak” dan “menerima” sebenarnya tak mudah juga. Kita ini seringkali susah
untuk “menolak”, menolak ajakan orang untuk hidup secara biasa saja sangat
susah, menolak kebiasaan bermalas-malasan sangatlah tidak mudah, menolak
sogokan (bagi penguasa) sangatlah berat, menolak pujian orang tentu tak biasa
kita lakukan. Mungkin kita lebih mudah “menerima” daripada menolak. Kita akan
sukarela menerima sedekah dari orang lain, menerima pujian dari orang lain,
menerima pelayanan dari orang lain, dan menerima jenis lainnya.
Nah,
kegiatan “bersaksi”, “menolak”, dan “menerima” ini tidak mudah, karenanya butuh
energi. Butuh kekuatan besar yang membuat kita bisa menolak. Hukuman untuk
koruptor adalah contoh energi eksternal yang sangat besar agar kita bisa
menolak sogokan. Sudah ada ancaman hukuman saja, masih banyak orang yang
korupsi. Ini membuktikan susahnya melakukan penolakan. Agar kita bisa menerima
juga membutuhkan energi yang sangat besar. Karena seseorang bisa menerima
sesuatu yang baru, jika ia menolak apa yang sudah dimilikinya. Ini artinya
menerima membutuhkan dua kali lipat energi lebih daripada menolak.Abu Jahal dan
Abu Lahab misalnya sudah memiliki system keyakinan yang selama ini
menguntungkan hidupnya, karenanya susah sekali menerima ajaran kebaikan dari
Nabi Muhammad saw. Itu terjadi karena ia harus menolak keyakinan lamanya
terlebih dahulu.
Bagaimana
dengan menyaksikan? Apakah membutuhkan energi yang besar juga?
Ihwal
kata “saksi” ada banyak makna. Di antaranya “melihat langsung”. Sederhananya
begini: siapa bisa melihat langsung ia bisa menjadi saksi. Bagaimana dengan Abu
Lahab, Abu Jahal? Bukankah mereka melihat langsung tingkah laku Nabi Muhammad?
Mereka juga mendengar langsung lantunan ayat al-Quran yang diwahyukan pada Nabi
Muhammad saw,tetapi mereka tetap saja tak mau bersyahadat. Ternyata soal
bersyahadat bukan terletak pada “melihat” atau “tidak melihat”, namun pada
kesediaan untuk menjadi saksi. Rupanya, kesediaan menjadi saksi ini tidaklah
mudah, atau dengan kata lain membutuhkan energi yang besar.
Untuk
bersyahadat membutuhkan energi, itulah kesimpulannya. Untuk bisa menjadi saksi
yang “menolak” seraya “menerima” membutuhkan perjalanan yang panjang. Untuk itu
kita akan membicarakan garis perjalanan syahadatain: darimana harus memulai,
energi apa sajakah yang dibutuhkan untuk bisa menempuh perjalanan syahadatain
ini?
Menuju
Lailahaillallah Harus Darimana?
Inti
syahadat pertama adalah Lailahaillallah. Kalimat syahadat pertama menegaskan
“Saya bersaksi bahwa Lailahaillallah” atau “Saya bersedia menjadi saksi
mengenai Lailahaillallah”. Seseorang yang telah bersedia menjadi saksi mengenai
Lailahaillallah akan menunjukkan bukti-bukti dalam dirinya, semua orang akan
menemukan jejak Lailahaillallah pada seluruh perilakunya –bahkan diamnya.
Lailahaillallah
adalah kalimat yang menunjukkan proses penemuan Tuhan yang sebenarnya. Konsepsi
Tuhan telah dipahami oleh banyak orang beragama, ada yang politeisme (meyakini
Tuhan yang banyak) ada yang monoteisme (meyakini hanya ada satu Tuhan).
Monoteisme juga tidak satu jenis, ada yang meyakini “banyak dalam satu” seperti
“tiga tetapi satu” ada yang “hanya satu-satunya, tak ada yang lain”.
Lailahaillallah adalah kalimat yang membuat kita memproses agar kita menemukan
“hanya satu-satunya Tuhan, tak ada yang lain”.
Kenapa
harus berproses?
Jawaban
sederhananya karena Tauhid berkenaan dengan Tuhan, sedangkan Tuhan itu tak
terbatas. Apapun yang kita rumuskan mengenai Tuhan selalu belum mencukupi,
selalu berada pada kondisi hampir atau mendekati benar. Keyakinan kita bahwa
kita sudah bertauhid, bisa jadi malah melemparkan kita pada kemusyrikan.Kok
bisa begitu? Merasa diri sebagai pusat adalah kemusyrikan, kesombongan adalah
kemusyrikan, merasa sudah sampai adalah kemusyrikan, bahkan rasa tidak percaya
diri juga kemusyrikan. Semuanya itu kemusyrikan. Sekedap netra saja, sebentar
abai pada Allah saja, itu sudah musyrik begitu petuah Syaikhunal Mukarrom.
Itu
alasan pertama.
Alasan
kedua kalimat Lailahaillallah sendiri menunjukkan proses, yakni “menolak” dulu
baru “menerima”. Isi kalimat Lailahaillallah sendiri membutuhkan proses yang
panjang, awalnya menolak (apa yang ditolak?), kemudian menerima (apa yang
diterima?). Yang kita tolak adalah Ilah, lalu ternyata ilah itu banyak sekali,
berlapis-lapis. Ilah bukan sekadar berhala patung, namun apapun yang menghambat
kita menuju Allah. Kemarahan, dendam, iri, dengki, kesombongan, rendah diri,
tidak percaya diri, tergesa-gesa, putusasa, kebodohan, semuanya itu adalah ilah
yang harus ditolak. Bayangkan betapa banyak hal dalam diri yang harus ditolak.
Satu sisi yang lain satu ilah saja berlapis-lapis, ambil contoh putus asa. Kita
bisa saja tidak putus asa pada satu masalah, lalu putus asa pada masalah lain.
Ini artinya, menolak ilah merupakan proses yang terus-menerus.
Sekarang
kita bicarakan bagaimana “menerima Allah”. Dari mana kita mulai? Al-Quran
menyatakan bahwa orang Quraisy itu sebenarnya percaya Allah, meyakini Allah
sebagai Tuhannya. Namun bersamaan dengan itu, mereka percaya pada tuhan lain.
Jadi percaya akan adanya Allah saja belum cukup, diperlukan percaya yang lebih
dari percaya. Percaya yang lebih dari percaya itu adalah kepercayaan yang
membuat kita mempercayakan seluruh hidup kita pada yang kita percaya, sehingga
kita memasrahkan diri kita pada Tuhan. Sikap memasrahkan diri secara utuh ini
secara bahasa adalah Islam. Menjadi muslim berarti memasrahkan diri secara utuh
kepada Allah, menjadi muslim dengan demikian buah dari iman. Begitu seseorang
sangat percaya, sangat beriman, maka ia akan pasrah total.
Ihwal
pasrah kepada Allah tidaklah mudah. Kata pasrah terdengar sangat mudah, padahal
tidak mudah. Untuk pasrah kepada Allah kita berperang dengan kecenderungan kita
bertumpu pada diri sendiri, pada apa yang kita anggap bisa kita andalkan. Saat
kita sakit, kita secara otomatis mengandalkan obat, lalu Allahnya kemana?
Bukankah mengandalkan obat itu benar? Tentu saja, benar, tapi tidak baik.
Kenapa tidak baik? Karena saat itu kita melupakan Allah, kita menganggap obat
sebagai sumber penyembuhan. Padahal bertauhid haruslah meyakini dan memasrahkan
seluruh sebab kepada Allah semata.
Nah,
tulisan-tulisan ini mencoba membicarakan proses bersyahadat. Titik pijaknya
semua orang pasti sudah mengetahui bahwa ada Tuhan sebagai penyebab segala
sesuatu, ada Tuhan yang harus disembah. Namun selalu saja, beriringan dengan
itu, kita mempercayai unsur lain, pihak lain. Bagaimana proses yang harus kita
tempuh?
Ada 4
kuadran proses yang dapat ditempuh dalam perjalanan menuju pasrah kepada Tuhan,
yakni kagum pada karya ilahiah, merasakan limpahan nikmat Allah seraya memuji
limpahanNya, menyadari kebesaran Allah, dan yang terakhir meyakini semuanya ini
serba Allah, tak ada apapun selain Allah.
Yang
pertama, kagum pada karya ilahiah, Para ilmuwan telah menunjukkan keajaiban
alam semesta ini. Tidak hanya alam semesta, tubuh kita saja sangatlah ajaib.
Jantung yang berdetak terus-menerus salah satu keajaibannya. Apa yang
menyebabkan dia berdetak, berapa besar energi yang dibutuhkannya? Kenapa saat
jantung berhenti berdetak tidak bisa dibangkitkan lagi walaupun diberi dorongan
energi yang sangat besar? Teknologi manusia yang sangat canggih tak bisa
menghidupkan ulang jantung yang sudah berhenti. Semua hal itu, bagi yang
berpikir, menghadirkan kekaguman pada karya ilahiah. Inilah pintu masuk
pertama. Pintu masuk ini diekspresikan dalam ungkapan Subahanallah
Kedua,
merasakan limpahan nikmat Allah seraya memuji limpahanNya. Setelah kagum kepada
karya ilahiah, seseorang akan mengakui kehebatan karya Allah dan terbuka
pikirannya bahwa apa yang mereka alami dan miliki semuanya itu pemberian Allah.
Semuanya nikmat dari Allah, semua yang kita miliki dan kita alami adalah dari
Allah, bahkan keberhasilan tindakan kita juga dari Allah. Tahap ini bukan hanya
mengagumi karya ilahiah, namun tindakan kita pun sebagai manusia diyakini
berasal dari Allah. Tak hanya tindakan, hasil dari tindakan pun berasal dari
kuasa karunia ilahiah. Orang yang sudah mencapai kuadran dua ini akan
mengucapkan Alhamdulillah dalam seluruh hidupnya. Ia merasa semua kehidupan ini
adlah limpahan nikmat Allah.
Ketiga,
menyadari kebesaran Allah. Setelah menyadari limpahan nikmat Allah yang sangat
luas, kita akan masuk ke tahap selanjutnya. Yakni tersedot masuk pada
pemberinya, pada Allah. Logikanya seperti ini: jika Anda terus-menerus ditolong
oleh si Pulan, Anda akan memujinya (ini tahap tahmid, Alhamdulillah), setelah itu
Anda akan merasa kagum pada kepribadian si Pulan. Anda akan mencoba mengenali
lebih dalam lagi kepribadian si Pulan yang pemurah itu, yang terus-menerus
menolong Anda itu. Nah, hal yang sama berlaku dalam hubungan Anda dengan Allah.
Anda akan mencoba memahami dzat, sifat, af’al, asma Allah. Saat itu Anda akan
merasakan kebesaran Allah dan mengucapkan Allahu Akbar. Allah begitu tak
terhingga sehingga ia lebih besar dari apapun yang paling besar. Karena Allah
paling besar, maka tak ada yang tidak diliputi Allah. Semuanya Allah, yang lain
ada dalam bentuk dan peran yang kecil tak berarti.
Keempat,
meyakini semuanya ini serba Allah, tak ada apapun selain Allah. Setelah
bertakbir, meyakini Allah yang sangat besar dari apapun, bahkan dari kata besar
sendiri, kita akan memasuki tahap keempat ini. Pada tahap takbir, kita sebagai
subyek masih ada. Mengucapkan Allah Maha Besar masih menyisakan perbandingan
dengan diri kita sebagai yang sangat-sangat kecil. Tahap keempat adalah tahap
subyek pun jadi tidak ada, semuanya tidak ada yang ada hanya Allah saja. Inilah
tahap Lailahaillallah, tahap tahlil. Tahap meyakini Allah saja yang ada, selain
Allah bisa disebut tidak ada. Kalaupun ada hanya sekadar bayangan, yang
geraknya tergantung pada gerak sumber bayangan.
Keempat
kuadran ini adalah tahapan perjalanan ruhani untuk bisa bersyahadat.
Secara
fisika, semua aktivitas itu membutuhkan dan melepaskan energi. Diam saja
membutuhkan energi. Keempat kuadran ini juga aktivitas energi, ada energi yang
dilepas dan digunakan dalam semua tahap itu. Inilah yang dimaksud Fisika
Syahadatain atau Metafisika Syahadatain.
Catatan
pada buku ini memberikan pengantar mengenai Fisika Syahadatain. Alasannya
sangat sederhana sekali, orang modern biasanya menganggap sesuatu itu benar
jika terkait dengan system pengetahuannya. Sistem pengetahuan orang modern
dibangun oleh sains, maka catatan pada buku ini mudah-mudahan dapat menjadi
pengantar untuk memahami syahadatain.
Selamat
menikmati!
Penulis
Sayyid
Gamal Yahya, Merupakan
Pimpinan Jamaah Asy-Syadatain. Selain mengurus jemaah, Sayyid juga sering
melakukan touring dzikir. Tulisan-tulisannya tersedia di beberapa flatform,
khususnya tentang keagamaan.