Kampus Sebagai Miniatur Negara (?)


 

Perguruan tinggi merupakan jenjang pendidikan formal tertinggi setelah terlewatnya fase-fase pendidikan formal SD, SLTP, dan SLTA. Seseorang yang menempuh pendidikan hingga pada jenjang perguruan tinggi, menyandang gelar tambahan yang semula “siswa, menjadi “mahasiswa. Perubahan gelar tersebut tentunya menandakan pertambahan pula bobot pendidikan dan tanggung jawab yang diembannya.


Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 20 Ayat 2 disebutkan bahwa perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, atau yang biasa disebut sebagai Tri Dharma Perguruan Tinggi. Berbeda dengan jenjang pendidikan SD, SLTP, dan SLTA yang hanya berfokus pada penyelenggaraan pendidikan, perguruan tinggi dituntut untuk bukan hanya mampu menyelenggarakan taraf pendidikan yang lebih berbobot, namun juga mampu menyelenggarakan serangkaian penelitian dan pengabdian yang berefek nyata pada masyarakat.


Dari ejawantah Tri Dharma Perguruan Tinggi ini, terciptalah suatu kultur civitas akademik yang berbasis pada pedoman ilmiah serta sistem struktural dalam penyelenggaraan pendidikan. Satu diantaranya yaitu dengan terbentuknya wadah organisasi bagi mahasiswa seperti Badan Eksekutif Mahasiswa dan Senat Mahasiswa. Penyelenggaraan organisasi mahasiswa ini yang kemudian melahirkan apa yang disebut kampus sebagai miniatur negara, yang di dalamnya tersusun jenjang pemerintahan mulai dari tingkat Prodi, Fakultas, hingga Universitas.


Akan tetapi, searah dengan sistem organisasi mahasiswa yang disusun berdasarkan asas Tri Dharma Perguruan Tinggi serta turunannya, organisasi mahasiswa justru menjejaki arah baru: politik praktis. Politik praktis yang dilakukan ini sebenarnya bukan menjadi suatu permasalahan jika terdidik mampu melakukannya secara ideal. Namun fakta lapangan membeberkan maraknya praktik-praktik kotor yang juga dilakukan, sehingga alur penyelenggaraan miniatur negara sungguh jauh dari kondisi ideal. Ini tentunya bukan kondisi yang diharapkan terjadi di lingkungan yang sejatinya beratmosfer intelektuil.


Sebut saja misalnya proses penyelenggaraan demokrasi mahasiswa yang dilakukan dalam tahap pemilihan ketua organisasi. Kultur intelektuil yang meliputi perguruan tinggi seharusnya mampu mewujudkan proses penyelenggaraan demokrasi yang ideal sebagaimana UUD 1945 Pasal 22E, yaitu jujur dan adil. Namun realitas yang terjadi adalah proses penyelenggaraan demokrasi mahasiswa sarat dengan laku-laku yang justru berorientasi pada kekuasaan. Hal tersebut diperparah dengan kebijakan regulasi yang dikeluarkan para pemangku kekuasaan yang semata-mata juga berorientasi pada pelanggengan kekuasaan. Di sisi lain penempatan posisi dalam struktur kepengurusan pun diliputi oleh praktik-praktik nepotisme yang disusun pertama-tama bukan berdasarkan kapabilitas, namun dominasi kelompok. Sehingga dari politik praktis yang dilakukannya itu, memicu berbagai pertentangan dari pihak yang merasa dirugikan, yang kemudian melahirkan sikap fanatisme dan melakukan pembelaan terhadap masing-masing kelompoknya. Celakanya, kondisi ini hadir di sebuah institut pendidikan yangkatanyamenjunjung tinggi sikap ilmiah dan nalar objektif.


Dari keadaan ini, maka muncul satu pertanyaan: pantas kah kampus disebut sebagai miniatur negara?


Tetapi sebelumnya, pengertian miniatur negara ini dapat berarti dua hal: (1) sistem pemerintahan, (2) konstelasi politik. Jika miniatur negara ini diartikan sebagai sistem pemerintahan, maka ini tidak ada persoalan. Sebab, sistem organisasi mahasiswa memang mengacu pada sistem pemerintahan negara. Akan tetapi, jika miniatur negara ini diartikan sebagai konstelasi politik, maka ini merupakan suatu ketidakpantasan. Sebab kita tahu bahwa konstelasi politik negara hari ini berada pada situasi yang tidak kondusif–atau carut marut–, dan kita tidak rela mengatakan kampus sebagai miniatur dari carut marut konstelasi politik negara. Kecuali jika statement ini bernada satire.


Lembaga pendidikan sejatinya hadir untuk mencetak para terdidiknya untuk kelak membawa bangsanya pada kemajuan, dan perguruan tinggi adalah ujung tombak arah kemajuan itu. Maka untuk mencapai kemajuan itu perlu dimulai sejak kini, sejak era miniatur negara. Yaitu dengan membangun suatu konstelasi yang kondusif bagi keberlangsungan demokrasi di lingkungan perguruan tinggi. Sebab, jika hal itu tidak dilakukan, ini hanya akan menjadi perputaran dari carut marutnya situasi perpolitikan negara saat ini. Dan tragisnya, carut marut politik, secara tidak langsung kelak akan paten menjadi budaya bangsa. Tentu ini sesuatu yang tidak diharapkan.

 

PENULIS

Zaenudin Ikhsan lahir di Bogor, mengenyam pendidikan di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

 

 

Post a Comment

Previous Post Next Post